Minggu, 11 Januari 2009

Ulang Tahun Dapat Kado Gerhana


Pada tanggal 26 Januari 2009 sore (kebetulan hari ulang tahun neh..) akan terjadi gerhana matahari cincin. Di Jakarta nanti pada jam 16-17 WIB, bulatan surya akan menyerupai sabit. Lebih istimewa di Lampung dan Samarinda, karena di sana matahari tampil sebagai cincin yang terang. Menurut kabar, sejumlah pemburu gerhana berniat datang ke Banten untuk mengamati peristiwa 26 Januari 2009. Daerah itu, terutama di sekitar Merak-Anyer, masih kebagian bentuk cincin matahari dengan matahari condong di arah laut lepas, dan diharapkan cuacanya lebih cerah dari pada tempat lainnya.

Peristiwa gerhana matahari sering membuat heboh, padahal itu gejala alam yang biasa meskipun tergolong agak langka. Salah satu penyebab gempar ialah kekuatiran tentang keselamatan mata, ketakutan bahwa melihat gerhana itu mengakibatkan buta.
Pupil

Seperti diafragma pada kamera, mata manusia mempunyai pupil yang dapat melebar atau menyempit untuk menakar jumlah cahaya yang memasuki mata. Pada suasana gelap, diameter pupil membesar sampai 8 mm supaya terkumpul cukup cahaya yang memungkinkan orang melihat dalam kegelapan. Di siang hari yang terik, diameternya menyusut hingga 2 mm, bahkan mampu mengecil sampai sekitar 1,6 mm jika berhadapan dengan cahaya yang menyilaukan.

Tetapi penakaran cahaya oleh pupil ada batasnya, tidak kuasa menghalangi pancaran cahaya matahari yang begitu hebat. Jika dihitung, cahaya langsung dari sang surya mesti dilemahkan 50.000 kali supaya menjadi aman bagi mata, dijadikan 0,00002 kekuatan semula. Kalau tidak, orang yang nekad menantang matahari memang berpeluang menjadi buta.

Karena itu sehari-harinya silau pancaran matahari selalu dihindari. Tetapi ketika gerhana tiba, orang bisa tertarik untuk mengamati wajah sang surya yang sedang berubah menjadi sabit. Lupa daratan pun mungkin terjadi, abai terhadap bahaya.

Soalnya pada saat gerhana, pancaran surya dihalangi sebagian oleh bulan sehingga alam menjadi redup dan pupil mata pun membesar. Tepat di saat orang mendongak ke atas menatap matahari, pupil belum sempat bereaksi, padahal kecerahan permukaan matahari tetap sama dahsyatnya dengan sehari-hari, ukurannya saja yang susut membentuk sabit. Sudah tentu luar biasa besar bahaya kebutaan yang mengancam. Lebih-lebih jika melihat melalui teropong, kamera atau instrumen optik lain yang tidak dimodifikasi, karena ada lensa di situ yang memusatkan cahaya dan sangat meningkatkan bahaya. Jangan pernah melihat gerhana matahari dengan mata telanjang, apalagi dengan teropong atau kamera yang tidak dilengkapi dengan khusus.


Kotak Pemantau Gerhana

Tidak usah risau, ada sejumlah cara aman untuk mengamati peristiwa yang belum tentu setahun sekali menyinggahi daerah yang sama. Prinsip yang banyak dipakai ialah bukan melihat langsung tetapi menyaksikan citra matahari pada suatu permukaan. Seperti cara yang lain, tentu dibutuhkan cuaca yang cerah. Sebuah contoh sederhana berwujud kotak karton yang dapat dibuat sendiri (lihat gambar).

Bidang atas seluas kira-kira 30cm x 30cm diberi lubang kecil (sering disebut pinhole) berdiameter sekitar 1 mm pada jarak 5cm dari tepi. Melalui lubang ini, cahaya matahari nanti menerobos untuk membentuk citra pada permukaan dalam di bidang bawah. Makin tinggi ukuran kotak, citra matahari semakin besar. Tetapi demi praktisnya, cukuplah jika tinggi kotak antara 50 sampai 80 cm.

Selanjutnya pada tepi bidang atas dibuat lubang melebar sebagai tempat secukupnya bagi kedua mata untuk mengintip ke dalam kotak. Dalam pemakaian, dengan membelakangi matahari, kotak dipegang sambil mata mengintip ke dalam. Kotak dimiring-miringkan sedikit untuk menemukan arah terbaik yang menghasilkan citra matahari pada bidang bawah.

Dua alasan yang membuat kotak ini aman. Pertama karena lubang kecil hanya membolehkan sedikit pancaran matahari yang masuk. Kedua karena kita mengamati dengan membelakangi matahari, menjauhkan mata dari sorotan sang surya.

Keinginan agar citra menjadi lebih jernih (maksudnya lebih terang? lebih tajam?) dapat diwujudkan dengan cara lain, yaitu dengan merekatkan selembar kertas putih pada bagian dalam alas kotak, yang akan berfungsi sebagai layar yang baik.

Sementara itu mengamati gerhana matahari melalui pantulannya pada permukaan air tergolong berbahaya. Yang akan berperan di situ hanya permukaan air, tanpa tergantung pada keruh atau berwarnanya air. Cahaya yang dipantulkan hanya berkurang menjadi 0,02 kali kekuatan semula, padahal supaya aman bagi mata, cahaya matahari harus dijadikan 0,00002 kali aslinya. Artinya pantulan dari air masih 1000 kali terlalu kuat.

Prinsip yang sama juga ditemui di tempat lain. Mereka yang tidak sempat membuat kotak dapat bersiap di bawah pohon yang masih meloloskan sedikit cahaya matahari, sehingga dalam keadaan biasa menampakkan bulatan-bulatan terang di tanah. Coba perhatikan bulatan-bulatan kecil itu, pada saat gerhana matahari bentuknya menjadi sabit. Apabila angin berhembus menggoyang dedaunan, sabit-sabit terang itupun bergerak lucu berkeliaran. ***

source : http://netsains.com

Ulang Tahun Dapat Kado Gerhana


Pada tanggal 26 Januari 2009 sore (kebetulan hari ulang tahun neh..) akan terjadi gerhana matahari cincin. Di Jakarta nanti pada jam 16-17 WIB, bulatan surya akan menyerupai sabit. Lebih istimewa di Lampung dan Samarinda, karena di sana matahari tampil sebagai cincin yang terang. Menurut kabar, sejumlah pemburu gerhana berniat datang ke Banten untuk mengamati peristiwa 26 Januari 2009. Daerah itu, terutama di sekitar Merak-Anyer, masih kebagian bentuk cincin matahari dengan matahari condong di arah laut lepas, dan diharapkan cuacanya lebih cerah dari pada tempat lainnya.

Peristiwa gerhana matahari sering membuat heboh, padahal itu gejala alam yang biasa meskipun tergolong agak langka. Salah satu penyebab gempar ialah kekuatiran tentang keselamatan mata, ketakutan bahwa melihat gerhana itu mengakibatkan buta.
Pupil

Seperti diafragma pada kamera, mata manusia mempunyai pupil yang dapat melebar atau menyempit untuk menakar jumlah cahaya yang memasuki mata. Pada suasana gelap, diameter pupil membesar sampai 8 mm supaya terkumpul cukup cahaya yang memungkinkan orang melihat dalam kegelapan. Di siang hari yang terik, diameternya menyusut hingga 2 mm, bahkan mampu mengecil sampai sekitar 1,6 mm jika berhadapan dengan cahaya yang menyilaukan.

Tetapi penakaran cahaya oleh pupil ada batasnya, tidak kuasa menghalangi pancaran cahaya matahari yang begitu hebat. Jika dihitung, cahaya langsung dari sang surya mesti dilemahkan 50.000 kali supaya menjadi aman bagi mata, dijadikan 0,00002 kekuatan semula. Kalau tidak, orang yang nekad menantang matahari memang berpeluang menjadi buta.

Karena itu sehari-harinya silau pancaran matahari selalu dihindari. Tetapi ketika gerhana tiba, orang bisa tertarik untuk mengamati wajah sang surya yang sedang berubah menjadi sabit. Lupa daratan pun mungkin terjadi, abai terhadap bahaya.

Soalnya pada saat gerhana, pancaran surya dihalangi sebagian oleh bulan sehingga alam menjadi redup dan pupil mata pun membesar. Tepat di saat orang mendongak ke atas menatap matahari, pupil belum sempat bereaksi, padahal kecerahan permukaan matahari tetap sama dahsyatnya dengan sehari-hari, ukurannya saja yang susut membentuk sabit. Sudah tentu luar biasa besar bahaya kebutaan yang mengancam. Lebih-lebih jika melihat melalui teropong, kamera atau instrumen optik lain yang tidak dimodifikasi, karena ada lensa di situ yang memusatkan cahaya dan sangat meningkatkan bahaya. Jangan pernah melihat gerhana matahari dengan mata telanjang, apalagi dengan teropong atau kamera yang tidak dilengkapi dengan khusus.


Kotak Pemantau Gerhana

Tidak usah risau, ada sejumlah cara aman untuk mengamati peristiwa yang belum tentu setahun sekali menyinggahi daerah yang sama. Prinsip yang banyak dipakai ialah bukan melihat langsung tetapi menyaksikan citra matahari pada suatu permukaan. Seperti cara yang lain, tentu dibutuhkan cuaca yang cerah. Sebuah contoh sederhana berwujud kotak karton yang dapat dibuat sendiri (lihat gambar).

Bidang atas seluas kira-kira 30cm x 30cm diberi lubang kecil (sering disebut pinhole) berdiameter sekitar 1 mm pada jarak 5cm dari tepi. Melalui lubang ini, cahaya matahari nanti menerobos untuk membentuk citra pada permukaan dalam di bidang bawah. Makin tinggi ukuran kotak, citra matahari semakin besar. Tetapi demi praktisnya, cukuplah jika tinggi kotak antara 50 sampai 80 cm.

Selanjutnya pada tepi bidang atas dibuat lubang melebar sebagai tempat secukupnya bagi kedua mata untuk mengintip ke dalam kotak. Dalam pemakaian, dengan membelakangi matahari, kotak dipegang sambil mata mengintip ke dalam. Kotak dimiring-miringkan sedikit untuk menemukan arah terbaik yang menghasilkan citra matahari pada bidang bawah.

Dua alasan yang membuat kotak ini aman. Pertama karena lubang kecil hanya membolehkan sedikit pancaran matahari yang masuk. Kedua karena kita mengamati dengan membelakangi matahari, menjauhkan mata dari sorotan sang surya.

Keinginan agar citra menjadi lebih jernih (maksudnya lebih terang? lebih tajam?) dapat diwujudkan dengan cara lain, yaitu dengan merekatkan selembar kertas putih pada bagian dalam alas kotak, yang akan berfungsi sebagai layar yang baik.

Sementara itu mengamati gerhana matahari melalui pantulannya pada permukaan air tergolong berbahaya. Yang akan berperan di situ hanya permukaan air, tanpa tergantung pada keruh atau berwarnanya air. Cahaya yang dipantulkan hanya berkurang menjadi 0,02 kali kekuatan semula, padahal supaya aman bagi mata, cahaya matahari harus dijadikan 0,00002 kali aslinya. Artinya pantulan dari air masih 1000 kali terlalu kuat.

Prinsip yang sama juga ditemui di tempat lain. Mereka yang tidak sempat membuat kotak dapat bersiap di bawah pohon yang masih meloloskan sedikit cahaya matahari, sehingga dalam keadaan biasa menampakkan bulatan-bulatan terang di tanah. Coba perhatikan bulatan-bulatan kecil itu, pada saat gerhana matahari bentuknya menjadi sabit. Apabila angin berhembus menggoyang dedaunan, sabit-sabit terang itupun bergerak lucu berkeliaran. ***

source : http://netsains.com

Sabtu, 10 Januari 2009

Aneh.. Gurita Mirip Manusia



Warga Berok I Kelurahan Berok Nipah, Muaro Padang, geger dengan penemuan gurita berbentuk aneh, Minggu (4/1). Gurita yang memiliki ukuran sekitar 20 cm dengan 8 lengan tersebut memiliki kepala yang bentuknya mirip dengan kepala manusia. Persisnya bentuk kepala gurita tersebut mirip dengan wajah perempuan dewasa.

Menurut pengakuan Nita (43), gurita tersebut mengalami perubahan bentuk setelah ia rebus. Sebelumnya gurita tersebut memiliki fisik normal seperti gurita lainnya. Namun, saat direbus beberapa saat, ia kaget karena gurita tersebut berubah bentuk. Pada bagian kepala tampak mirip kepala manusia.

Kata Nita, Gurita tersebut ditangkap suaminya bersama nelayan lainnya di perairan Sauban Mentawai pada Minggu (4/1) pagi. Gurita tangkapan tersebut dibongkar di Batang Arau sekitar pukul 10.00.

“Saat dibongkar dan saya bawa pulang, bentuknya tampak biasa-biasa saja, ini memang gurita aneh," ujar Nita.

Nita mengatakan, rencananya hewan air tersebut akan dijadikan santapan siang bersama keluarga. Sebelum digoreng, biasanya gurita tersebut direbus terlebih dahulu. Namun, niat untuk menyantap sirna tatkala gurita tersebut berubah bentuk.

Meskipun saat ini gurita tersebut telah mati, ada sedikit keanehan pada bentuk gurita tersebut. Dari matanya yang berbentuk titik hitam kecil, sesekali mengeluarkan air. Sebagian warga percaya, gurita tersebut merupakan gurita kutukan. Air yang keluar dari mata gurita tersebut disimbolkan sebagai ungkapan sedih atas kutukan tersebut.

Sampai Minggu (4/1) sore, gurita aneh ini menjadi tontonan masyarakat sekitar. Kesempatan tersebut dimanfaatkannya untuk mengumpulkan sumbangan kepada pengunjung. Keluarga pemilik gurita tersebut menyediakan kotak kardus tempat mengumpulkan sumbangan.

“Saya belum berniat menjualnya, saya akan merawat hewan air ini ibarat merawat keluarga, pengunjung yang ingin melihatnya, silakan saja, sumbangan hanya bersifat sukarela,” ujar Nita.

Aneh.. Gurita Mirip Manusia



Warga Berok I Kelurahan Berok Nipah, Muaro Padang, geger dengan penemuan gurita berbentuk aneh, Minggu (4/1). Gurita yang memiliki ukuran sekitar 20 cm dengan 8 lengan tersebut memiliki kepala yang bentuknya mirip dengan kepala manusia. Persisnya bentuk kepala gurita tersebut mirip dengan wajah perempuan dewasa.

Menurut pengakuan Nita (43), gurita tersebut mengalami perubahan bentuk setelah ia rebus. Sebelumnya gurita tersebut memiliki fisik normal seperti gurita lainnya. Namun, saat direbus beberapa saat, ia kaget karena gurita tersebut berubah bentuk. Pada bagian kepala tampak mirip kepala manusia.

Kata Nita, Gurita tersebut ditangkap suaminya bersama nelayan lainnya di perairan Sauban Mentawai pada Minggu (4/1) pagi. Gurita tangkapan tersebut dibongkar di Batang Arau sekitar pukul 10.00.

“Saat dibongkar dan saya bawa pulang, bentuknya tampak biasa-biasa saja, ini memang gurita aneh," ujar Nita.

Nita mengatakan, rencananya hewan air tersebut akan dijadikan santapan siang bersama keluarga. Sebelum digoreng, biasanya gurita tersebut direbus terlebih dahulu. Namun, niat untuk menyantap sirna tatkala gurita tersebut berubah bentuk.

Meskipun saat ini gurita tersebut telah mati, ada sedikit keanehan pada bentuk gurita tersebut. Dari matanya yang berbentuk titik hitam kecil, sesekali mengeluarkan air. Sebagian warga percaya, gurita tersebut merupakan gurita kutukan. Air yang keluar dari mata gurita tersebut disimbolkan sebagai ungkapan sedih atas kutukan tersebut.

Sampai Minggu (4/1) sore, gurita aneh ini menjadi tontonan masyarakat sekitar. Kesempatan tersebut dimanfaatkannya untuk mengumpulkan sumbangan kepada pengunjung. Keluarga pemilik gurita tersebut menyediakan kotak kardus tempat mengumpulkan sumbangan.

“Saya belum berniat menjualnya, saya akan merawat hewan air ini ibarat merawat keluarga, pengunjung yang ingin melihatnya, silakan saja, sumbangan hanya bersifat sukarela,” ujar Nita.